Murid sejati "Belmoti"

        Pagi beranjak naik mengiringi putaran jarum jam di ruangan. Sinar mentari yang sejak pagi malu-malu menampakkan diri, mulai mundur teratur berganti dengan awan yang bergumpal. Tak menunggu lama, rintik hujan turun berderai, membasahi tanah dengan aroma yang khas. Tetesannya di atap gedung seperti alunan musik, menemani jariku yang bergerak di atas tuts keyboard menerjang deadline tugas-tugas yang datang silih berganti. 

        Pukul 11.10 WIB, bel sekolah berbunyi nyaring, menjedaku untuk berhenti bermain dengan keyboard, merapikan kertas-kertas kerja dan menutup laptop. Bergegas berjalan keluar ruangan menuju kelas tempat mengajar. Hari ini Aku ada jam mengajar di shift siang, akibat kebijakan PTM 50% yang kembali menghampiri sekolah kami, roda perjalanan proses belajar mengajar berubah lagi. 

        Sebelum memasuki ruangan, rekan guru yang menjabat sebagai Kepala Program Studi meyampaikan bahwa ruangan dalam kondisi di persiapkan untuk test kepolisian. Dan nanti jam 13.00 pihak Polda akan melakukan pengecekan. Seperti hari-hari yang lalu Guru akan diminta pindah ke ruangan lain yang kosong. Tapi kebiasaan Saya untuk memanfaatkan momen seperti ini agar bisa menghirup nafas kebebasan. Mengajar di ruangan membuat kepalaku sedikit sakit, terasa sempit seukuran 30 m2.  Ide-ide di kepala seperti lari dan bertabrakan dengan tembok ruang kelas. Ada kala Saya lebih suka mengajar di selasar, pojok baca bahkan halaman sekolah ketimbang di kelas. Walaupun untuk materi tertentu Saya tetap mengajar di ruang kelas. Apalagi hari ini rencananya sudah masuk materi Praktik pembuatan Film Pendek. 
        
"Assalamu'alaikum", sapaku saat memasuki ruangan. 
Memantau kehadiran mereka, menyiapkan peralatan dan briefing sebentar untuk persiapan dua tim yang akan mulai praktik dan lanjut praktik di lokasi sesuai sinopsis yang sudah kami susun pada pertemuan sebelumnya. Saat akan mendampingi salah satu tim, ada siswa yang memanggilku dan bilang, "Bu, nanti untuk syuting film kami minta tolong Ibu jadi talent ya". 
"Nggak jadi dengan Guru xxx?", kemarin mereka sudah izin mau ajak guru lain untuk terlibat di filmnya.
"Nggak jadi lah bu, adegannya dikit. Takut ganggu jam mengajar beliau, lagian kami nggak buat script. Jadi dialognya full improvisasi. Klo Ibu kan udah biasa disuruh improve. Nggak enak klo di take berulang-ulang dan masih mau prepare supaya tidak komunikasi dengan kamera".  

Yah beginilah kami, sebagai orang yang masih proses belajar kadang pengambilan gambar akan dilakukan berulang-ulang dan salah satu masalah yang sering terjadi selain masalah lupa dialog, kurang pas di gestur, juga masalah komunikasi dengan kamera. Talent harus melihat kamera tetapi tidak boleh berkomunikasi. Susah jika dijelaskan dengan kata-kata, tapi jika ada contoh salah take, kita akan mengerti dengan sendirinya. Ya, sudahlah toh Saya juga tetap harus mendampingi mereka selama proses syuting berjalan.

Dua tim ini melakukan tugas di dua lokasi berbeda, 1 tim di ruang kelas atas dan 1 tim di ruang kelas bawah. Jadilah Saya turun naik tangga untuk mengawasi mereka dalam praktik. Adegan demi adegan mereka lakukan, Saya sesekali memberi masukan dan merevisi hasil kerja mereka. Tibalah adegan dimana talent seorang Guru di Tim 1. Saya meminta mereka membacakan ulang sinopsis untuk melakukan tugas Saya. Aman, beberapa take selesai dan sampailah kita di adegan guru yang memarahi siswanya. Saat saya sedang bersiap, siswa yang bertugas sebagai kameramen bilang,"Bu...coba Ibu marah dulu. Ku nie dak pernah ningok Ibu marah selame sekolah". (Bu...coba ibu marah dulu, Saya tidak pernah lihat ibu marah selama sekolah). 

"Aok ken, masak Ibu dak pernah marah. Rase-rase e ibu nie paling gati ngeruce. Mungkin lom kene soy e bai kelas ikak nie". (Iya kah, Masa sih Ibu tidak pernah marah. Rasa-rasanya Ibu paling sering ngomel. Mungkin belum saja di kelas kalian).
"Dak bu, lom ade imang kami ngeliet ibu marah", jawab siswa yang lain. (Dak bu, memang belum ada kami lihat ibu marah).
"Cube tanya kek CK tu, die pernah Ibu marahin sampe nangis". (Coba tanya sama CK, dia pernah Ibu marahin sampai menangis).
CK: "dak jok, bukan di marah. Waktu tu ku di nasehatin Ibu tapi kata-kata Ibu tu cemane lah, dak tau ngape tiba-tiba keluar sendiri aik mataku". (Bukan teman, bukan di marah. Waktu itu saya dinasehati sama Ibu tapi ada kata-kata ibu yang sulit di ungkap dengan kata, nggak tahu kenapa tiba-tiba air mata saya keluar).
"wew..cingenglah ka nie jadi cowok" jawab temannya yang lain. (Wah...mudah juga kamu menangis sebagai laki-laki).
"Sudah..sudah", Saya coba menengahi mereka.
Dan kami melanjutkan syuting hingga jam pelajaran selesai.

Anak-anakku, sungguh Ibu belum menjadi guru yang baik. Ibu sedang berproses untuk terus belajar memperbaiki diri. Maafkan Ibu jika terkadang ada amarah, kadang ada bercanda yang kelewatan, kadang suka usil membuat kalian menangis. Nanti saat kalian sudah tidak di sekolah ini, semoga apapun yang telah kita lewati akan jadi cerita tersendiri. Kami di sumpah untuk mengabdi, melalui test psikologi, Insyaallah kami sehat Jasmani dan Rohani. Marah kami, cubitan kami, pukulan kami bukan untuk menyakiti kalian, tapi untuk mengusir "syetan" yang sering lengket pada tubuh kalian.

Teruslah memperbaiki diri, karena ini juga sebuah prestasi, kalahkan ego dalam diri, jadilah murid sejati. Semangat menuju sukses buat kalian, doa Kami selalu mengiringi.

“Murid sejati bukanlah sekedar simpatisan. Murid sejati adalah orang yang rela tertanam, bersedia diajar, antusias belajar, rela dikoreksi, bersedia berubah, bertumbuh dan tahan uji. Mereka adalah orang-orang yang terpanggil, dipilih, dan yang setia sampai akhir. Tidak berhenti ditengah jalan, tidak mundur, tidak berbelok dan tidak berbalik!” (Sella Irene – Beautiful Words)
 

 


Pangkalpinang, 10 Februari 2022 
Memory Class XII MM 1

8 comments: